Di depan rumah adat Karo, Si Waluh Jabu. Photo milik Pinouva |
Seorang pemuda karo
pergi mengambil rotan ke hutan. Tidak tahu pasti apa yang dilakukannya selain
mengambil rotan atau bagaimana cara ia mengambil rotan. Yang pasti, selepas
pulang dari hutan ia tampak berbeda. Malam harinya ia seperti orang yang
kehilangan akal sehat. Berbicara asal-asalan, kadang terlihat murung, ketakutan
dan bertingkah aneh. Hal ini menimbulkan kegelisahan keluarga hingga mencari
tahu apa yang terjadi pada si pemuda. Dari kerabat terdengarlah bahwa tendi atau roh pemuda tersebut telah
diambil oleh roh halus. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan masyarakat lama
yang hingga sekarang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat karo saat itu. Keluarga
pun mencari orang pintar untuk penyembuhan yang disebut Guru Nambari.
Jasa Tarigan, ialah
seorang guru nambari yang saat itu
dipanggil oleh keluarga si pemuda. Sejak umur lima belas tahun ia sudah
menerima kelebihan untuk dapat berkomunikasi dengan roh halus, hingga ia bisa
menyembuhkan orang-orang sakit akibat roh halus. Melihat keadaan pemuda itu Jasa tahu bahwa tendi si pemuda tidak berada di dalam
raganya lagi. Namun, masih butuh pembuktian untuk orang lain. Disuruhnya lah keluarga untuk mengumpulkan
sebelas macam daun-daun yang ada di hutan atau disebut bulung-bulung si melias gelar. Dedaunan tersebut dimasukkan ke
dalam keranjang dan dililitkan dengan kain putih lalu diletakkan diatas kepala
si pemuda. “Tak boleh kurang satu jenis pun harus lengkap semua,” tegas Jasa.
Jika benar tendi si pemuda diambil
maka keranjang tersebut akan bergetar kuat saat diletakkan diatas kepala. Dan
benar, keranjang itu bergetar kuat diatas kepala si pemuda.
Saat semua yakin, ritual penyembuhan akan dilaksanakan. Ada
dua pilihan, Ngaleng Tendi atau Raleng Tendi. Tak ada perbedaan ritual yang
signifikan di dalamnya. Raleng Tendi adalah untuk ritual yang mengajak banyak
orang, semua sanak saudara hingga masyarakat kampung. Sedangkan Ngaleng Tendi adalah
ritual yang sama namun, hanya disaksikan dan dilakukan oleh sedikit orang yang
terdiri dari keluarga dan kerabat yang sakit. Bahkan bisa dilakukan hanya
berdua antara si dukun dan pasien. “Sekarang karena sudah banyak yang memeluk
agama, orang-orang sering malu melaksanakan ritual ini, jadilah mereka buat
Ngaleng Tendi diam-diam. Malu sama tetangga katanya,” ujar Jasa.
Gundala-Gundala khas Karo |
Mulanya ada tarian dan nyanyian yang dilakukan oleh guru nambari untuk memanggil tendi yang tertahan. Dimulai dari tari-tarian yang diiringi oleh
alat musik tradisional karo yang terbuat dari bambu. Balobat,
keteng-keteng, mangkok. Yang memainkan alat musik pengiring pun bukan
sembarang orang, harus orang yang mengerti ritual tersebut. Saat menari, guru nambari menggunakan sarin teneng, kain hitam khas karo. Tak
banyak aksesoris yang digunakan si guru
nambari.
Beberapa perlengkapan ritual juga dipersiapakan seperti kemenyan
dan beras yang dimasukkan ke dalam
keranjang. Setelah siap, ritual pun dimulai.
“Mari-mari. Mari kam
kurumah tendi,” itulah sebait nyanyian yang digunakan untuk memanggil roh
yang ditahan. Nyanyian dan tarian akan terus berlangsung hingga roh benar-benar
terpanggil. “kadang bisa sampe dua jam. Tergantung kepandaian si dukun itu
memanggilnya,” kata Jasa.
Jika roh sudah terpanggil, awalnya roh tersebut akan
merasuki tubuh guru nambari. Saat itulah
roh halus yang merasuki guru berbicara dengan pihak keluarga si pemuda. Di sinilah
akan tahu apa penyebab hilangnya tendi
si pemuda. Melalui tubuh guru nambari, roh halus berkata bahwa si pemuda telah
mengganggunya dengan menebang rotan sembarangan.
Pihak keluarga akan meminta roh halus untuk mengembalikan
tendinya. Mereka berunding, ada nasehat-nasehat yang diberikan oleh roh halus,
misal agar tidak buang air kecil sembarangan atau mengotori tempat-tempat yang
ternyata hunian roh halus. Setelah kedua belah pihak selesai berdiskusi maka
dengan segera akan kembali lah tendi si pemuda yang sedari ritual dimulai hanya
duduk menyaksikan seperti orang linglung. Meski dalam keadaan kesurupan, guru
nambari masih bisa mengontrol diri hingga roh halus keluar dari tubuhnya.Tendi
si pemuda telah kembali, semua ritual pengembalian telah dilaksanakan. Si
pemuda pun kembali sehat.
Menurut Jasa, kunci dari penyembuhan ini adalah keyakinan.
Saat seseorang atau keluarga yakin bahwa dengan melakukan ini akan menyembuhkan
maka ia bisa sembuh.
Dijadikan Pertunjukan
Seni Tari
Nilai-nilai agama dan dunia medis membuat Ngaleng Tendi
semakin ditinggalkan oleh banyak masyarakat karo. Hal ini dianggap tidak lagi
sesuai dengan ajaran agama dan rasional masyarakat. Selain itu sudah jarangnya
orang yang sakit atau kehilangan tendi ikut berpengaruh dalam langkanya ritual
ini. Begitulah yang dikatakan Perikuten Tarigan, Dosen Pengajar Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU.
Mensiasati hilangnya tradisi unik ini, kreasi tarian yang
dilakukan oleh dukun Ngaleng Tendi pun diciptakan. Beberapa sanggar mulai
mengkreasikan dan menampilkan tarian ini dalam pementasan seni tradisional
karo. Menurut Perikuten, saat suatu tradisi mulai ditinggalkan oleh masyarakat
melalui kreasi seni tari inilah cara agar tradisi tersebut tidak benar-benar
hilang mengikuti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap ritual mistis
seperti Ngaleng tendi.
Perikuten yang juga sebagai Ketua Lembaga Kesenian USU
menambahkan, tarian ngaleng tendi sendiri menjadikan si dukun sebagai tokoh
utama dalam tarian. Sisanya hanya pengiring dan pemain musik yang jumlahnya
bisa berapa saja tergantung pengkreasi tarian. Alat-alat yang digunakan pun
tidak sama persis seperti yang digunakan dukun asli. Hanya beberapa bahan
seperti bunga-bungaan, berasa yang meunjukkan sesejian untuk ritual.
Tak ada unsur mistis yang terdapat dalam tarian, murni hanya
seni. “kita bukan mau mengajak orang percaya dengan ritual ngaleng tendi, kita
hanya mau memperlihatkan seni melalui tarian si dukun,” pungkas Perikuten.
*Tulisan saya 3 tahun yang lalu ketika menjadi reporter di Pers Mahasiswa. Tulisan ini untuk kebutuhan rubrik Podjok Budaya Tabloid Pers Mahasiswa SUARA USU
*Tulisan saya 3 tahun yang lalu ketika menjadi reporter di Pers Mahasiswa. Tulisan ini untuk kebutuhan rubrik Podjok Budaya Tabloid Pers Mahasiswa SUARA USU
0 komentar:
Posting Komentar