Terdapatlah sebuah negeri yang merupakan ciptaaan Debata Mulajadi Nabolon, yaitu tempat dimana ia menurunkan Ompu Guru Tatea Bulan dan menjadi manusia pertama di bumi. Manusia langit ini nampaknya turun di tempat yang tepat. Di sebuah negeri nan hijau, sejuk dengan perbukitan-perbukitan yang menjulang tinggi dan dipagari oleh danau penuh legenda, Danau Toba.
Perjalanan
melihat alam Danau Toba
memang perjalanan yang menyenangkan, namun jika alam yang
indah tadi didiami oleh masyarakat yang mempunyai kultur yang kuat, dengan cerita
legenda dari kepercayaan
lokal dan tradisi yang bertahan lestari adalah
sebuah suguhan lain dari ‘kesempurnaan’.
Nah, perjalanan
saya kali ini bisa dibilang sebuah perjalanan spritual di tanah Batak. Perjalanan
ke sebuah tempat suci dan sakral bagi Bangsa Batak karena dipercaya dari
sinilah manusia pertama di bumi ini turun dari langit. Pusuk Buhit namanya, puncak bukit dimana manusia
langit itu menginjakkan
kakinya ke bumi. Masyarakat Batak menjadikan lokasi ini sebagai tempat yang
sakral, sebagai tempat untuk menghargai leluhurnya. Hingga sekarang
Puncak Pusuk Buhit sering dikunjungi untuk kepentingan ziarah.
Pusuk Buhit
berada di Desa Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir. Dari Parapat, Pusuk Buhit
bisa ditempuh sekitar 2 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan menuju desa ini
adalah perjalanan yang tidak boleh dilewatkan dengan tidur!
Siapa yang rela melewatkan pemandangan bukit-bukit gundul, pulau-pulau kecil
yang ada di Danau Toba, hamparan sawah serta desa-desa yang masih menggunakan
Rumah Bolon atau rumah adat Batak? Kalau saya tidak.
Sebelum sampai puncak, keajaiban
Pusuk Buhit sudah mulai terasa
melekat di kakinya.
Jika dipuncak menjadi tempat ziarah yang memiliki danau ajaib dan
monumen batu maka, di kaki bukit terdapat Museum Raja Batak, Batu Hobon, dan
Air Tujuh Rasa.
Nah, marilah
kita mulai petualangan ini dari desa di kaki bukit.
Desa Sianjur
Mula-Mula memberikan sapaan
hangat kepada saya melalui suguhan pemandangannya. Dari mulai hamparan sawah yang masih
hijau di tepi kanan jalan, bukit-bukit hijau yang gagah di tepi kiri , hingga pohon cemara yang
tumbuh berkelompok-kelompok membuat bukit-bukit gagah itu tampak mengagumkan. Jalan yang indah itu menghantarkan
saya ke suatu tempat yang tak kalah ajaib.
Keajaiban ini
dikenal dengan nama Aek Sipitu Dai, tempat dimana terdapat 7 pancuran air yang
memiliki tujuh rasa
yang berbeda. Konon rasa itu tergantung oleh si pencicip. Jika ia memiliki hati
yang baik maka air akan terasa manis. Jika ia memiliki hati yang kotor maka air
akan berasa sangat tidak enak. Ah, jadi deg-degan. Air yang telah disekat-sekat
dan menjadi tempat mencuci dan pemandian umum ini dibagi menjadi dua bagian,
untuk laki-laki dan perempuan. Saya masuk ke tempat perempuan dan mulai
mencicipi air pancuran satu per satu. “Horas!” sapaan itu saya ucapkan lantang
sesuai petunjuk dari pemandu yang ada di luar.
“Gimana
rasanya?” tanya teman yang penasaran.
“Oh, manis kok manis. Airnya manis” jawabku.
“Adek-adek ini berhati baik,” ujar bapak
pemandu. Kami hanya tersenyum sambil berlalu meninggalkan keajaiban pertama.
Perjalanan saya
berlanjut ke sebuah lokasi sakral yang juga cukup tersohor di negeri batak ini. Tak jauh dari Aek
Sipitu Dai terdapat sebuah batu yang menjadi simbol turunnya Si Raja Batak.
Batu Hobon namanya. Batu ini telah menjadi
miliknya Raja Uti generasi ketiga dari
Raja Batak yang sakti. Oleh Raja Uti batu Ini berfungsi untuk menyimpan harta karun orang Batak, adapula kitab
Batak yang berisi ajaran dan nilai-nilai luhur didalam batu itu. Konon, suatu
saat si Raja Uti akan kembali untuk mengeluarkan semua benda pusaka itu.
Setelah selesai
dengan Batu Hobon, saya mulai beranjak untuk bergerak ke atas. Dari sini puncak
Pusuk Buhit telah terlihat, menjulang
tinggi dan berkabut. Tapi sebelumnya kita mampir lagi yaa. Kali ini saya
singgah di Monumen Sopo Guru Tatea Bulan, yaitu sejenis museum yang berisi
patung-patung keturunan Raja Batak. Di sana saya juga disambut oleh pria
setengah baya yang ternyata keturunan Si Raja Batak! Dengan berbaik hati ia
jelaskan semua silsilah dan misteri Pusuk Buhit. Ah mengagumkan, saya semakin
semangat untuk mencapai puncak Pusuk Buhit.
Baiklah, puncak
berkabut itu sudah menanti.
Perjalanan
menuju puncak sudah difasilitasi dengan jalan setapak. Selain dengan berjalan kaki, kendaraan
seperti sepeda motor pun bisa sampai di puncak. Jelas untuk mendapatkan sensasi yang
berbeda saya dan teman-teman memilih untuk berjalan kaki melewati jalan-jalan
pintas dengan menerobos ilalang-ilalang yang tingginya melebihi tubuh saya.
Sepanjang jalan , saya iseng menghitung jumlah air
tejun yang terlihat. Ada sebelas jumlahnya! Semuanya terlihat disela-sela
perbukitan. Dari sini perkampungan Sianjur Mula-Mula terlihat indah dikelilingi
bukit-bukit hijau.
Lima jam
perjalanan dan saya telah sampai di leher Pusuk Buhit, bukan di puncak. Di sini
keajaiban ke.. ah saya lupa ini kejaiban keberapa. Ah ya ke empat. Masyarakat
menyebutnya Tala-Tala, sebuah danau yang airnya dipercaya bisa menyembuhkan
segala macam penyakit. Di dekat danau ini juga terdapat batu besar menyerupai
meja yang konon digunakan sebagai tempat berkumpul.
Di hari libur,
banyak warga yang datang ke sini untuk melaukakan upacara, doa, atau
penghormatan pada Si Raja Batak.
Sebuah
keberuntungan bagi saya yang bisa menyaksikan langsung prosesi penghormatan
terhadap sastrawan Batak yang baru saja meninggal saat itu. Sesajen, dan
alat-alat musik dipersiapkan. Sang juru bicara pun berdiskusi dengan roh,
tari-tarian, nyanyian dan gendang bertalu-talu memecah kesunyian di Pusuk
Buhit. Prosesi ini ditutup dengan santap bersama. Wah, menyenangkan kami diajak
makan bersama dengan menu ikan arsik di sekitar Tala-Tala. Hari itu sudah sore, tidak memungkinkan untuk
melanjutkan perjalanan maka saya menginap semalam di Tala – Tala.
Pagi
harinya dari Tala – Tala ,
saya bergegas menuju puncak.
Perjalanan yang
memakan waktu sekitar 30 menit. Satu jam jika ditambah dengan foto-foto. Tiba di puncak, hampir semua spot menarik yang mengelilingi tanah Batak bisa saya
lihat dari sini, dari mulai Kota Pangururan, Puncak Tele, Danau Toba,
Gunung Sibayak, Sinabung dan
Sibuaten. Pemandangan
paling menarik bagi saya adalah ketika melihat kota Pangururan tertutup oleh
bayangan segitiga raksasa, yang merupakan bayangan dari Pusuk Buhit sebagai puncak tertinggi di Pulau Samosir.
Pemandangan ini bisa
terlihat jika matahari tenggelam dengan sempurna tanpa tertutup awan. Ah,
beruntungnya saya!
Oh ya, sudah
berapa keajaiban yang sudah saya beri tahu?
Keajaiban
selanjutnya adalah Bendera Batak yang ada di Puncak Pusuk Buhit. Di atas sini
terdapat sebuah bangunan persegi, didalamnya terdapat meja dari semen yang
berbentuk segitiga. Di sini juga terdapat banyak persembahan untuk leluhur.
Mulai dari sirih, jeruk dan ayam.
Keajaiban –yang
entah sudah keberapa kalinya- terjadi ketika malam tiba di Puncak Pusuk Buhit.
Di malam hari saya yang tadinya hanya
tidur bermodalkan tenda dan sleeping bag
tiba-tiba berada di five billion star
hotel. Bintang tak hanya ada di atas langit, tapi juga di atas danau.
Kerlap-kerlip lampu dari kota Pangururan membuat saya percaya bahwa “star not
belong in the sky”.
Oke baiklah,
saya akan mengakhiri keajaiban demi keajaiban ini dengan pemandangan sunrise
dari puncak Pusuk Buhit. Guys, you must try it!
0 komentar:
Posting Komentar