Batu persidangan di depan rumah |
Seorang teman yang baru saja pulang dari Korea Selatan dalam
rangka pertukaran budaya bertanya, “Kamu tahu apa yang orang tanya tentang
Batak?” saya diam karena tak tahu. “Orang Batak masih makan orang?” jawabnya
sendiri. Mata saya membelalak, menyimak betapa tertariknya peserta forum
diskusi itu tentang sejarah kanibalisme di Batak. Saya sendiri pernah dengar
dan baca-baca artikel tentang “Orang
Batak Makan Orang” . Awalnya saya kira hanya sebatas ungkapan karena nada suara
orang Batak yang terkenal kuat dan terkesan marah seperti ingin makan orang,
ternyata bukan. Makan orang yang dimaksud adalah kanibalisme, manusia memakan
manusia dalam artian yang sebenarnya.
Sudah empat tahun tinggal di Medan dan berteman baik dengan
banyak orang Batak tak pernah mereka bilang mau memakan saya. Saya juga kerap
pergi melancong ke tanah Batak, baik Batak Toba, Pak-Pak, Karo, Simalungun, Angkola,
Mandailing tak pernah sekalipun disuguhi hidangan manusia. Ternyata, tradisi
memakan orang memang sudah lama hilang seiring dengan masuknya kepercayaan di
Tano Batak. Berangkat dari pernyataan teman saya tadi, niat menelusuri
perkampungan kanibal dari batak membulat.
Tradisinya memang sudah hilang, tapi ada yang belum hilang
dari sejarah kanibalisme ini. Yaitu perkampungan Huta Siallagan yang masih
eksis memelihara cerita dan peninggalan yang menyatakan kebenaran akan memoar
Marco Polo dan para Missionaris.
Saya masuk ke kawasan Danau Toba melalui salah satu
gerbangnya, yaitu Kota Parapat. Dari Medan parapat biasa ditempuh sekitar 6 jam
perjalanan, atau bisa jadi 4 jam saja jika naik angkutan umum yang laju nya
bikin tak berani menutupkan mata. Karena lamanya itu, saya lebih suka berangkat
tengah malam dan sampai Parapat di pagi hari. Beruntung hari itu saya disambut
oleh pagi yang menggemaskan. Mesin-mesin kapal terdengar sahut menyahut di tepi
danau yang jadi dermaga pariwisata, mata saya sempat silau dibuat matahari yang
muncul penuh gairah. Cahaya memantul di permukaan danau menjadikan air tosca
itu berwarna keemasan. Ditambah bangau-bangau yang kabur sehabis mencuri ikan
dari keramba-keramba miliki warga. Naluri mengarungi danau jadi kian menggelora,
saya siap mengarungi Danau Toba, setelah dikode-in abang-abang awak kapal.
Pelayaran kali ini tak lain menuju Desa Ambarita.
Nama desa Ambarita memang kalah tersohornya dari Desa Tomok
yang jadi pusat wisata budaya dan belanja yang ada di tanah Samosir. Bagi
beberapa pelancong mungkin tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Danau Toba
tapi tak mampir ke Tomok. Namun, di kesempatan mengunjungi Danau Toba yang
sudah kesekian kalinya ini, saya melambaikan tangan pada Desa Tomok,
melewatinya dan dibawa menuju dermaga lain.
Kapal penyeberangan di Danau Toba |
Penumpang yang turun di dermaga ini kebanyakan rombongan
tour, karena kapal biasa jarang ada yang membawa penumpang ke desa ini. Jika
tidak bersama rombongan kita bisa turun di Tomok, menyewa sepeda motor atau
sepeda menuju Ambarita melalui jalur darat. Sekitar 40-50 menit sudah bisa
masuk kampung kanibal.
Dari dermaga, Huta Siallagan belum kelihatan. tertutup oleh
lapak-lapak penjual souvenir yang dengan baik hati memuji kecantikan saya. Saya
harus berjalan sekitar 100 meter ke dalam gang hingga bertemu tembok setinggi 2
meter yang mengelilingi sebuah wilayah. Dari tulisannya, saya tahu inilah
kampung kaum kanibal itu berada.
Saya masuk dari sebuah pintu yang tak bisa dilewati lebih
dari 2 orang. Pintu itu langsung menuju halaman rumah-rumah bolon yang berjejer
rapi. Ada sekitar 8 rumah dalam kawasan itu. Yang menarik, di depan salah satu
rumah, bernaung batu berbentuk meja dan kursi yang disusun melingkar. Dari
seorang Kardo, guide yang mengaku sebagai keturunan raja saya ketahui bahwa itu
adalah kursi persidangan. Pak Kardo membawa saya dan rombongan menuju tempat
duduk panjang yang dibuat khusus untuk tamu yang mau tahu sejarah kampung ini.
Di depan batu persidangan tadi Pak Kardo bilang bahwa inilah
kampung Huta Siallagan, kampung yang terkenal dengan tradisi memakan manusia.
Tapi, raja dan masyarakat Huta Siallagan tak asal makan manusia kalau lapar,
manusia yang dimakan pun ada alasannya. Yaitu terdapat hukum adat yang jatuh
pada seseorang yang melakukan tindak kejahatan seperti pemerkosa, penghianat,
serta musuh ( salah sendiri kenapa jadi musuh). Jika kamu adalah pemerkosa atau
pengkhianat raja atau bahkan musuh yang tertangkap maka siap-siap. Nasibmu akan
didiskusikan di batu persidangan. Sejauh mana kesalahan akan ditentukan di meja
dan kursi yang melingkar ini. Ada dua pilihan hukuman yang mungkin terjadi,
yaitu hukum pasung atau hukum pancung.
Dalam persidangan biasanya raja dan petinggi lainnya mencari
hari baik untuk mengeksekusi berdasarkan
kalender batak. Jika persidangan telah diputuskan, hukuman menanti. Untuk yang
dipancung, mula-mula terdakwa akan dipasung terlebih dahulu di salah satu rumah
bolon yang ada sambil menunggu hari eksekusi tiba. Jika hari eksekusi tiba,
terdakwa akan dipindah tempatkan menuju lokasi eksekusi.
Kalender Batak |
Bagi pengunjung yang datang berkelompok, biasanya sebelum
menuju tempat eksekusi akan diajak menari bersama patung menari Si Gale-Gale,
supaya rileks mungkin ya. Dari sebelah kiri saya lihat Si Gale-Gale telah
menunggu untuk menari bersama dan disawer. Tiga hingga empat tarian dimainkan
dengan dipandu oleh dua orang guide dan satu pemain musik, suara khas gondang
batak akan terdengar oleh seisi kampung Huta Siallagan hingga diteriakkan
Horas! Horas! Horas pertanda berakhirnya tarian.
Lanjut ke nasib terdakwa tadi, rasa penasaran saya akan
segera terjawab. Ia digiring menuju ke lokasi eksekusi. Di sana sudah ada
meja-meja dan kursi. Meja-meja batu tersebut menjadi tempat penyiksaan hingga
pemenggalan kepala. Pertama-tama, terdakwa akan disikssa dengan cara dipukul
kepalanya, dan disayat kulitnya. Jika tidak berdarah atau tidak mati, itu
pertanda bahwa terdakwa memiliki ilmu. Ilmu ini harus dihilangkan terlebih
dahulu menggunakan jeruk nipis. Jadilah jeruk nipis tersebut ditetesi di tubuh
yang telah disayat. Tahap selanjutnya adalah pemenggalan kepala. Di tempat yang
telah disiapkan, terdakwa dipenggal kepalanya oleh algojo. Di sini, harga diri
algojo pun dipertaruhkan, akan semakin meningkat kemansyurannya jika ia
berhasil memisahkan kepala dan badan terdakwa dengan sekali tebas.
Lalu bagaimana nasib tubuh dan kepala yang telah terpisah?
Kepala tersebut akan digantung di depan desa agar musuh atau warga tahu akan
adanya eksekusi ini. Hal ini tentu akan membuat orang yang melihatnya menjadi
takut. Saya jadi terbayang bahwa saya baru saja melewati gerbang yang pernah
digantung kepala manusia di sana. Tubuhnya akan dipotong menjadi beberapa
bagian untuk dimasak dan dimakan bersama-sama. Sementara bagian organ dalam
akan dimakan oleh raja. Nah, mereka percaya dengan memakan bagian tubuh
tersebut, ilmu yang dimiliki oleh terdakwa akan pindah ke tubuh orang yang
memakannya.
Begitulah nasib terdakwa malang itu berakhir, bersamaan
dengan berakhirnya kisah dari kaum kanibal di Huta Siallagan, Pak Kardo
menunjukkan pintu keluar. Satu per satu pendengar yang tadi bergidik keluar dan
meinggalkan meja eksekusi. Saya sempatkan untuk mendekatinya satu per satu,
memastikan semua saksi sejarah ini telah saya sentuh.
Jalanan menuju dermaga tak beda dengan jalan saya masuk
tadi. Melewati penjual souvenir yang menawarkan dagangannya. Saya sempatkan
membeli sehelai kain ulos lalu berlalu menuju kapal yang dengan sabar menunggu.
Diiringi nyanyian Pulau Samosir, kapal meninggalkan dermaga kembali pulang
membawa kisah dari kampung kanibal.
0 komentar:
Posting Komentar