Jumat, 01 April 2016

Huta Siallagan, Jejak Perkampungan Kanibal dari Tanah Batak

Batu persidangan di depan rumah

Seorang teman yang baru saja pulang dari Korea Selatan dalam rangka pertukaran budaya bertanya, “Kamu tahu apa yang orang tanya tentang Batak?” saya diam karena tak tahu. “Orang Batak masih makan orang?” jawabnya sendiri. Mata saya membelalak, menyimak betapa tertariknya peserta forum diskusi itu tentang sejarah kanibalisme di Batak. Saya sendiri pernah dengar dan baca-baca artikel  tentang “Orang Batak Makan Orang” . Awalnya saya kira hanya sebatas ungkapan karena nada suara orang Batak yang terkenal kuat dan terkesan marah seperti ingin makan orang, ternyata bukan. Makan orang yang dimaksud adalah kanibalisme, manusia memakan manusia dalam artian yang sebenarnya.

Sudah empat tahun tinggal di Medan dan berteman baik dengan banyak orang Batak tak pernah mereka bilang mau memakan saya. Saya juga kerap pergi melancong ke tanah Batak, baik Batak Toba, Pak-Pak, Karo, Simalungun, Angkola, Mandailing tak pernah sekalipun disuguhi hidangan manusia. Ternyata, tradisi memakan orang memang sudah lama hilang seiring dengan masuknya kepercayaan di Tano Batak. Berangkat dari pernyataan teman saya tadi, niat menelusuri perkampungan kanibal dari batak membulat.

Tradisinya memang sudah hilang, tapi ada yang belum hilang dari sejarah kanibalisme ini. Yaitu perkampungan Huta Siallagan yang masih eksis memelihara cerita dan peninggalan yang menyatakan kebenaran akan memoar Marco Polo dan para Missionaris.

Saya masuk ke kawasan Danau Toba melalui salah satu gerbangnya, yaitu Kota Parapat. Dari Medan parapat biasa ditempuh sekitar 6 jam perjalanan, atau bisa jadi 4 jam saja jika naik angkutan umum yang laju nya bikin tak berani menutupkan mata. Karena lamanya itu, saya lebih suka berangkat tengah malam dan sampai Parapat di pagi hari. Beruntung hari itu saya disambut oleh pagi yang menggemaskan. Mesin-mesin kapal terdengar sahut menyahut di tepi danau yang jadi dermaga pariwisata, mata saya sempat silau dibuat matahari yang muncul penuh gairah. Cahaya memantul di permukaan danau menjadikan air tosca itu berwarna keemasan. Ditambah bangau-bangau yang kabur sehabis mencuri ikan dari keramba-keramba miliki warga. Naluri mengarungi danau jadi kian menggelora, saya siap mengarungi Danau Toba, setelah dikode-in abang-abang awak kapal. Pelayaran kali ini tak lain menuju Desa Ambarita.

Nama desa Ambarita memang kalah tersohornya dari Desa Tomok yang jadi pusat wisata budaya dan belanja yang ada di tanah Samosir. Bagi beberapa pelancong mungkin tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Danau Toba tapi tak mampir ke Tomok. Namun, di kesempatan mengunjungi Danau Toba yang sudah kesekian kalinya ini, saya melambaikan tangan pada Desa Tomok, melewatinya dan dibawa menuju dermaga lain.
Kapal penyeberangan di Danau Toba


Penumpang yang turun di dermaga ini kebanyakan rombongan tour, karena kapal biasa jarang ada yang membawa penumpang ke desa ini. Jika tidak bersama rombongan kita bisa turun di Tomok, menyewa sepeda motor atau sepeda menuju Ambarita melalui jalur darat. Sekitar 40-50 menit sudah bisa masuk kampung kanibal.

Dari dermaga, Huta Siallagan belum kelihatan. tertutup oleh lapak-lapak penjual souvenir yang dengan baik hati memuji kecantikan saya. Saya harus berjalan sekitar 100 meter ke dalam gang hingga bertemu tembok setinggi 2 meter yang mengelilingi sebuah wilayah. Dari tulisannya, saya tahu inilah kampung kaum kanibal itu berada.

Saya masuk dari sebuah pintu yang tak bisa dilewati lebih dari 2 orang. Pintu itu langsung menuju halaman rumah-rumah bolon yang berjejer rapi. Ada sekitar 8 rumah dalam kawasan itu. Yang menarik, di depan salah satu rumah, bernaung batu berbentuk meja dan kursi yang disusun melingkar. Dari seorang Kardo, guide yang mengaku sebagai keturunan raja saya ketahui bahwa itu adalah kursi persidangan. Pak Kardo membawa saya dan rombongan menuju tempat duduk panjang yang dibuat khusus untuk tamu yang mau tahu sejarah kampung ini.

Di depan batu persidangan tadi Pak Kardo bilang bahwa inilah kampung Huta Siallagan, kampung yang terkenal dengan tradisi memakan manusia. Tapi, raja dan masyarakat Huta Siallagan tak asal makan manusia kalau lapar, manusia yang dimakan pun ada alasannya. Yaitu terdapat hukum adat yang jatuh pada seseorang yang melakukan tindak kejahatan seperti pemerkosa, penghianat, serta musuh ( salah sendiri kenapa jadi musuh). Jika kamu adalah pemerkosa atau pengkhianat raja atau bahkan musuh yang tertangkap maka siap-siap. Nasibmu akan didiskusikan di batu persidangan. Sejauh mana kesalahan akan ditentukan di meja dan kursi yang melingkar ini. Ada dua pilihan hukuman yang mungkin terjadi, yaitu hukum pasung atau hukum pancung.

Dalam persidangan biasanya raja dan petinggi lainnya mencari hari baik untuk mengeksekusi  berdasarkan kalender batak. Jika persidangan telah diputuskan, hukuman menanti. Untuk yang dipancung, mula-mula terdakwa akan dipasung terlebih dahulu di salah satu rumah bolon yang ada sambil menunggu hari eksekusi tiba. Jika hari eksekusi tiba, terdakwa akan dipindah tempatkan menuju lokasi eksekusi.

Kalender Batak
Bagi pengunjung yang datang berkelompok, biasanya sebelum menuju tempat eksekusi akan diajak menari bersama patung menari Si Gale-Gale, supaya rileks mungkin ya. Dari sebelah kiri saya lihat Si Gale-Gale telah menunggu untuk menari bersama dan disawer. Tiga hingga empat tarian dimainkan dengan dipandu oleh dua orang guide dan satu pemain musik, suara khas gondang batak akan terdengar oleh seisi kampung Huta Siallagan hingga diteriakkan Horas! Horas! Horas pertanda berakhirnya tarian.

Lanjut ke nasib terdakwa tadi, rasa penasaran saya akan segera terjawab. Ia digiring menuju ke lokasi eksekusi. Di sana sudah ada meja-meja dan kursi. Meja-meja batu tersebut menjadi tempat penyiksaan hingga pemenggalan kepala. Pertama-tama, terdakwa akan disikssa dengan cara dipukul kepalanya, dan disayat kulitnya. Jika tidak berdarah atau tidak mati, itu pertanda bahwa terdakwa memiliki ilmu. Ilmu ini harus dihilangkan terlebih dahulu menggunakan jeruk nipis. Jadilah jeruk nipis tersebut ditetesi di tubuh yang telah disayat. Tahap selanjutnya adalah pemenggalan kepala. Di tempat yang telah disiapkan, terdakwa dipenggal kepalanya oleh algojo. Di sini, harga diri algojo pun dipertaruhkan, akan semakin meningkat kemansyurannya jika ia berhasil memisahkan kepala dan badan terdakwa dengan sekali tebas.

Lalu bagaimana nasib tubuh dan kepala yang telah terpisah? Kepala tersebut akan digantung di depan desa agar musuh atau warga tahu akan adanya eksekusi ini. Hal ini tentu akan membuat orang yang melihatnya menjadi takut. Saya jadi terbayang bahwa saya baru saja melewati gerbang yang pernah digantung kepala manusia di sana. Tubuhnya akan dipotong menjadi beberapa bagian untuk dimasak dan dimakan bersama-sama. Sementara bagian organ dalam akan dimakan oleh raja. Nah, mereka percaya dengan memakan bagian tubuh tersebut, ilmu yang dimiliki oleh terdakwa akan pindah ke tubuh orang yang memakannya.

Begitulah nasib terdakwa malang itu berakhir, bersamaan dengan berakhirnya kisah dari kaum kanibal di Huta Siallagan, Pak Kardo menunjukkan pintu keluar. Satu per satu pendengar yang tadi bergidik keluar dan meinggalkan meja eksekusi. Saya sempatkan untuk mendekatinya satu per satu, memastikan semua saksi sejarah ini telah saya sentuh.



Jalanan menuju dermaga tak beda dengan jalan saya masuk tadi. Melewati penjual souvenir yang menawarkan dagangannya. Saya sempatkan membeli sehelai kain ulos lalu berlalu menuju kapal yang dengan sabar menunggu. Diiringi nyanyian Pulau Samosir, kapal meninggalkan dermaga kembali pulang membawa kisah dari kampung kanibal.

0 komentar:

Posting Komentar