Ini cerita saya
dan beberapa teman yang ingin bertamu ke rumah Orang Utan namun tak ingin jadi
monster. Yang ingin menghirup udara segar dari paru-paru dunia tanpa
meninggalkan kerusakan. Pasalnya, kami akan membawa banyak rombongan,
sekumpulan pegiat jurnalis kampus yang butuh refreshing. Membawa banyak orang ke kawasan pariwisata dan cagar
alam agak ngeri-ngeri jambu, silap-silap
justru merusak lingkungan.
Akhirnya,
setelah rapat hingga larut, mencari kesepakatan yang sebenarnya nggak pernah hilang ketuk palu pun
dilakukan. Kami akan liburan selama tiga hari di kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL). Di kawasan ini juga mengalir Sungai Bahorok, Bukit Lawang yang
jernih dan menggairahkan.
“Nah, di sana
kita ngapain? Ada apa aja?” tanya
seorang teman.
Karena kita
nggak mau liburan ini jadi perjalanan kosong hampa tanpa bayang-bayang
kebajikan. Di sana kita nggak sekedar tengok kanan kiri, atau loncat ke sungai
dan mandi-mandi dan juga nggak sekedar
ber-jungle trekking dan berjumpa Orang Utan saja. Tapi, kita akan datang
dengan karung di tangan, sapu dan tongkat-tongkat dan tak lupa buah-buahan buat
oleh-oleh untuk si Orang Utan. Akan kita sulap kawasan TNGL menjadi bebas
sampah dengan karung dan tongkat-tongkat tadi.
“Kita akan
berbagi waktu dengan alam dan merawatnya.”
Kita dan alam
punya hubungan semacam simbiosis mutualisme. Kadang hubungan ini tak adil. Dari
sekian banyak keuntungan yang kita dapat dari alam, kita hanya perlu
menjaganya. Tidak melakukan apapun terhadap alam saja itu sudah cukup membantu.
Persiapan kami mulai dengan mencari lembaga konservasi Orang Hutan hingga Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Niat baik ini disambut baik oleh pihak TNGL bersamaan dengan dikeluarkannya Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi. Hunting dan persiapan peralatan siap, kami pun meluncur ke Bukit Lawang.
Dari Medan,
Bukit Lawang berjaraka sekitar 86 km. Menggunakan Bus besar, perjalanan bisa
memakan waktu hampir empat jam.
TNGL yang
terletak di Bukit Lawang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara ini menyimpan banyak
kekayaan alam sekaligus menjadi rumah bagi berbagai satwa. Mulai dari Orang
Utan, Siamang, Beruk, Harimau Sumatera, Gajah, Beruang madu dan beberapa hewan
lainnya.
Satwa-satwa yang
sering kelihatan di kawasan ini adalah Gajah, Monyet Ekor Panjang, Beruk,
Siamang dan Orang Utan. Kehadiran satwa-satwa ini tentu menjadi daya tarik
wisatawan untuk melihat saudara-saudaranya di sana. Ditambah panorama yang
indah dan sungai yang bisa menawarkan berbagai macam kegiatan seperti tubing.
Namun, daya
tarik ini meninggalkan kekhawatiran. Untuk keadaan di luar kawasanan TNGL
pengunjung yang datang tak sedikti yang bersuka ria meninggalkan jejak. Mungkin
mereka kira akan dikenang dengan peninggalan-peninggalan mereka.
Peninggalan-peninggalan tersebut berupa popok bayi yang dilempar ke sungai,plastik
makanan, dan sampah-sampah lainnya. Masalah klasik.
Belum lagi
keadaan di dalam hutan. Penebangan liar masih berlangsung dengan diam-diam.
Banjir besar yang sempat melumpuhkan pemukiman warga sekitar Sungai Bahorok tak
membuat para penebang liar sadar. Kayu-kayu jarahan dari TNGL masih jadi lahan
bisnis yang menggiurkan.
Melihat kondisi
ini apa yang bisa kita lakukan? Mungkin kita tidak memiliki pengaruh besar
untuk mencegah semua kerusakan tersebut. Tapi, Dari hal terkecil yang bisa kita
upayakan, kegiatan tersebut pasti akan berpengaruh. Minimal sebuah kesadaran
untuk diri kita sendiri.
Kita lanjut saja
dengan kegiatan kami tadi. Ditemani empat orang ranger, kami berkumpul di
depan gerbang masuk kawasan TNGL pada pukul tujuh pagi. Setiap satu atau dua
orang diberikan satu karung sebagai wadah sampah. Kegiatan memungut sampah ini
kami mulai di pinggiran sungai. Jumlah kami cukup banyak, yaitu sekitar 25
orang. Ditambah beberapa anak-anak setempat yang tergoda untuk ikut bergabung
dalam kegiatan tersebut. ternyata semangat bisa menular ya.
Sebentar saja,
karung-karung kami sudah mulai penuh dengan sampah. Isinya beragam. Sampah
plastik mendominasi.
Setelah selesai
dengan kawasan sungai, dengan bantuan sampan kecil kami menyebarang untuk masuk
kawasan TNGL. Di sana, kami dibagi menjadi dua kelompok.
Jalur yang akan
kami lewati merupakan jalur jungle trekking Orang Utan. Sambil
pungut sampah, sambil liat Orang Utan. Untunglah sampah di dalam hutan tak
sebanyak sampah di pinggir sungai. Rata-rata sampah yang ada adalah bungkus
permen, puntung rokok hingga sandal-sandal yang lepas.
“Ssst, jangan menimbulkan suara. Pelan-pelan
dan lihat ke atas,” kata ranger kami.
Ternyata seekor Orang Utan besar tengah asyik bertengger di dahan pohon.
Sementara beberapa meter di depan, ada seekor burung cantik berwarna biru.
Ukurannya sebesar ayam. Saya tak tahu burung apa namanya.
Tujuan kami
sampai spot pemberian makan Orang Utan. Karena itulah jalur yang sering
dilewati manusia.
Setelah selesai,
kami kembali ke tepi sungai dan...
kembali bersenang-senang. Ada yang mandi di bawah air terjun, ada yang melompat
dari batu di tepi sungai, ada yang melamun, ada yang berfoto-foto ria, ada yang
hilang, ada yang diem-diem lari ke hutan, macam-macam.
Penutup kegiatan
ini kami makan siang di tepi sungai. Makan dibawah pohon-pohon besar dengan
mata yang awas melihat-lihat jangan sampai makanan kami dicuri monyet-monyet
yang mulai keluar dari hutan.
Sederhana kan
yang kami lakukan. Siapa saja bisa lakukan kegiatan seperti ini. Bayangkan saja
jika setiap pejalan yang mengunjungi suatu tempat melakukan setidaknya sedikit
saja kegiatan bermanfaat.
Dulu, kami tak
tahu kalau kegiatan semacam ini disebut Voluntourism.
Tak apa, yang penting kegiatan positif ini telah lama kami coba lakukan.
Mungkin nggak
sekeren komunitas lainnya yang pergi jauh-jauh ke wilayah pelosok negeri ini.
Yang bisa jauh ke wilayah timur Indonesia untuk mengajar, membangun desa atau
kegiatan besar lainnya. Tapi kita udah cukup keren kok dengan ber-voluntourism dengan modal nol alias nyumbang tenaga aja. Dan, gak usah
repot-repot liat dan cari daerah orang yang butuh bantuan. Liat aja daerah kamu
sendiri dulu. Pasti ada aja yang bisa dibantu.
Kan lumayan, sambil jalan-jalan, promosi wisata daerah lewat tulisan,
melakukan kegiatan yang membantu tempat dan warga sekitar.
Inilah yang bisa
kami kasih untuk TNGL sebagai hutan lindung yang berfungsi sebagai paru-paru dunia sekaligus rumah bagi
hewan endemik Indonesia, Orang Utan. Hadiah sederhana untuk paru-paru dunia dan
rumah Orang Utan.
ceritanya keren. pesannya sampe.
BalasHapussemoga menang :D