Jumat, 06 Februari 2015

Hadiah Sederhana Untuk Paru-Paru Dunia dan Rumah Orang Utan


Banyak rumah yang telah musnah, paru-paru dunia tak lagi sehat. Ini bukan perkara alien atau monster yang datang menyerang. Ini tentang kita! Manusia yang datang hanya untuk menikmati , lalu pergi meninggalkan kerusakan. Bisakah kita datang lalu meninggalkan hadiah?

Ini cerita saya dan beberapa teman yang ingin bertamu ke rumah Orang Utan namun tak ingin jadi monster. Yang ingin menghirup udara segar dari paru-paru dunia tanpa meninggalkan kerusakan. Pasalnya, kami akan membawa banyak rombongan, sekumpulan pegiat jurnalis kampus yang butuh refreshing. Membawa banyak orang ke kawasan pariwisata dan cagar alam agak ngeri-ngeri jambu, silap-silap justru merusak lingkungan.

Akhirnya, setelah rapat hingga larut, mencari kesepakatan yang sebenarnya nggak pernah hilang ketuk palu pun dilakukan. Kami akan liburan selama tiga hari di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Di kawasan ini juga mengalir Sungai Bahorok, Bukit Lawang yang jernih dan menggairahkan.


“Nah, di sana kita ngapain? Ada apa aja?” tanya seorang teman.

Karena kita nggak mau liburan ini jadi perjalanan kosong hampa tanpa bayang-bayang kebajikan. Di sana kita nggak sekedar tengok kanan kiri, atau loncat ke sungai dan mandi-mandi  dan juga nggak sekedar ber-jungle trekking dan berjumpa Orang Utan saja. Tapi, kita akan datang dengan karung di tangan, sapu dan tongkat-tongkat dan tak lupa buah-buahan buat oleh-oleh untuk si Orang Utan. Akan kita sulap kawasan TNGL menjadi bebas sampah dengan karung dan tongkat-tongkat tadi.

“Kita akan berbagi waktu dengan alam dan merawatnya.”

Kita dan alam punya hubungan semacam simbiosis mutualisme. Kadang hubungan ini tak adil. Dari sekian banyak keuntungan yang kita dapat dari alam, kita hanya perlu menjaganya. Tidak melakukan apapun terhadap alam saja itu sudah cukup membantu.


Persiapan kami mulai dengan mencari lembaga konservasi Orang Hutan hingga Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Niat baik ini disambut baik oleh pihak TNGL bersamaan dengan dikeluarkannya Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi. Hunting dan persiapan peralatan siap, kami pun meluncur ke Bukit Lawang.

Dari Medan, Bukit Lawang berjaraka sekitar 86 km. Menggunakan Bus besar, perjalanan bisa memakan waktu hampir empat jam.

TNGL yang terletak di Bukit Lawang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara ini menyimpan banyak kekayaan alam sekaligus menjadi rumah bagi berbagai satwa. Mulai dari Orang Utan, Siamang, Beruk, Harimau Sumatera, Gajah, Beruang madu dan beberapa hewan lainnya.

Satwa-satwa yang sering kelihatan di kawasan ini adalah Gajah, Monyet Ekor Panjang, Beruk, Siamang dan Orang Utan. Kehadiran satwa-satwa ini tentu menjadi daya tarik wisatawan untuk melihat saudara-saudaranya di sana. Ditambah panorama yang indah dan sungai yang bisa menawarkan berbagai macam kegiatan seperti tubing.

Namun, daya tarik ini meninggalkan kekhawatiran. Untuk keadaan di luar kawasanan TNGL pengunjung yang datang tak sedikti yang bersuka ria meninggalkan jejak. Mungkin mereka kira akan dikenang dengan peninggalan-peninggalan mereka. Peninggalan-peninggalan tersebut berupa popok bayi yang dilempar ke sungai,plastik makanan, dan sampah-sampah lainnya. Masalah klasik.

Belum lagi keadaan di dalam hutan. Penebangan liar masih berlangsung dengan diam-diam. Banjir besar yang sempat melumpuhkan pemukiman warga sekitar Sungai Bahorok tak membuat para penebang liar sadar. Kayu-kayu jarahan dari TNGL masih jadi lahan bisnis yang menggiurkan.

Melihat kondisi ini apa yang bisa kita lakukan? Mungkin kita tidak memiliki pengaruh besar untuk mencegah semua kerusakan tersebut. Tapi, Dari hal terkecil yang bisa kita upayakan, kegiatan tersebut pasti akan berpengaruh. Minimal sebuah kesadaran untuk diri kita sendiri.

Kita lanjut saja dengan kegiatan kami tadi. Ditemani empat orang ranger,  kami berkumpul di depan gerbang masuk kawasan TNGL pada pukul tujuh pagi. Setiap satu atau dua orang diberikan satu karung sebagai wadah sampah. Kegiatan memungut sampah ini kami mulai di pinggiran sungai. Jumlah kami cukup banyak, yaitu sekitar 25 orang. Ditambah beberapa anak-anak setempat yang tergoda untuk ikut bergabung dalam kegiatan tersebut. ternyata semangat bisa menular ya.

Sebentar saja, karung-karung kami sudah mulai penuh dengan sampah. Isinya beragam. Sampah plastik mendominasi.

Setelah selesai dengan kawasan sungai, dengan bantuan sampan kecil kami menyebarang untuk masuk kawasan TNGL. Di sana, kami dibagi menjadi dua kelompok.

Jalur yang akan kami lewati  merupakan jalur jungle trekking Orang Utan. Sambil pungut sampah, sambil liat Orang Utan. Untunglah sampah di dalam hutan tak sebanyak sampah di pinggir sungai. Rata-rata sampah yang ada adalah bungkus permen, puntung rokok hingga sandal-sandal yang lepas.

 “Ssst, jangan menimbulkan suara. Pelan-pelan dan lihat ke atas,” kata ranger kami. Ternyata seekor Orang Utan besar tengah asyik bertengger di dahan pohon. Sementara beberapa meter di depan, ada seekor burung cantik berwarna biru. Ukurannya sebesar ayam. Saya tak tahu burung apa namanya.
Tujuan kami sampai spot pemberian makan Orang Utan. Karena itulah jalur yang sering dilewati manusia.

Setelah selesai, kami  kembali ke tepi sungai dan... kembali bersenang-senang. Ada yang mandi di bawah air terjun, ada yang melompat dari batu di tepi sungai, ada yang melamun, ada yang berfoto-foto ria, ada yang hilang, ada yang diem-diem lari ke hutan, macam-macam.

Penutup kegiatan ini kami makan siang di tepi sungai. Makan dibawah pohon-pohon besar dengan mata yang awas melihat-lihat jangan sampai makanan kami dicuri monyet-monyet yang mulai keluar dari hutan.

Sederhana kan yang kami lakukan. Siapa saja bisa lakukan kegiatan seperti ini. Bayangkan saja jika setiap pejalan yang mengunjungi suatu tempat melakukan setidaknya sedikit saja kegiatan bermanfaat.

Dulu, kami tak tahu kalau kegiatan semacam ini disebut Voluntourism. Tak apa, yang penting kegiatan positif ini telah lama kami coba lakukan.

Mungkin nggak sekeren komunitas lainnya yang pergi jauh-jauh ke wilayah pelosok negeri ini. Yang bisa jauh ke wilayah timur Indonesia untuk mengajar, membangun desa atau kegiatan besar lainnya. Tapi kita udah cukup keren kok dengan ber-voluntourism dengan modal nol alias nyumbang tenaga aja. Dan, gak usah repot-repot liat dan cari daerah orang yang butuh bantuan. Liat aja daerah kamu sendiri dulu. Pasti ada aja yang bisa dibantu.  Kan lumayan, sambil jalan-jalan, promosi wisata daerah lewat tulisan, melakukan kegiatan yang membantu tempat dan warga sekitar.

Inilah yang bisa kami kasih untuk TNGL sebagai hutan lindung yang berfungsi  sebagai paru-paru dunia sekaligus rumah bagi hewan endemik Indonesia, Orang Utan. Hadiah sederhana untuk paru-paru dunia dan rumah Orang Utan.  


1 komentar: